Want to translate? Click please

November 23, 2014

Dimana Kita Sekarang?

Dimana kita sekarang? Aku mulai melihat sang mentari mulai enggan menyinari Bumi, dan pohon-pohon rindang ragu untuk mengulurkan tangannya. Apakah ini hanya perasaanku saja atau memang ini adalah kenyataan?

                                                                               ~~~~~

Aku tak bisa melihat apa-apa disekitarku, gelap, rasa khawatir mulai hinggap di hatiku. Kulihat setitik cahaya yang datang mendekat, namun semakin dekat cahaya itu semakin aku menyadari bahwa cahaya itu adalah seorang pria paruh baya yang memakai baju putih bersih, namun ada yang aneh, wajahnya terlihat muram. Siapa kamu? Aku bergidik, mulutku terbuka namun suaraku tak bisa keluar. Pria itu tersenyum, Aku adalah Bumi. Aku menatapnya ragu. Pasti kamu bingung mengapa aku bisa muncul dihadapanmu dan bagaimana engkau bisa berada disini, benarkah? Pria itu tersenyum lembut. Aku hanya bisa mengangguk.

Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatiku aku tahu mengapa aku disini, ia ingin menyampaikan sesuatu. Bumi.... ia sedang kecewa, sedih dan prihatin namun disamping itu semua ia tetap melaksanakan tugas dari Tuhannya dengan penuh keikhlasan dan ketaqwaan.

Dunia sudah berubah, Bumi tersenyum pilu, ia menatapku lekat-lekat namun aku menunduk. Dunia memang berubah, tak ada lagi rasa kasih sayang yang tulus, kecurigaan mulai merambat dimana-mana, dan orang-orang mulai menghalalkan segala cara untuk meraih kepentingan duniawinya saja. Betapa indahnya mengingat masa kejayaan Rasulullah dan para sahabatnya, pikirannya mulai menerawang kembali kepada beberapa ratus tahun yang lalu.

Ketika itu, tidak ada yang memikirkan Dunia sepenuhnya, oleh sebab itulah Dunia pun patuh pada mereka. Bumi mulai bercerita. Aku menghempaskan diri ke tanah.

Bumi, ceritakan padaku... peristiwa yang mengharukan pada masa Rasulullah, aku meminta penuh semangat dan rasa ingin tahu.

Banyak, nak, banyak. Bumi menggeleng, berusaha menyembunyikan air matanya. Aku menatapnya dengan bimbang, Kumohon Bumi... Apa saja? Bumi terdiam, lalu menyeka air matanya, Baiklah, ini adalah cerita tentang betapa tulusnya cinta para sahabat Rasulullah kepada sesama, sekalipun mereka tak kenal satu sama lain.


                                                                            ~~~~~~~
Umar ibn Al-Khaththab sedang duduk di bawah sebatang pohon kurma, dihadapannya para pemuka sahabat yang sedang bertukar pikiran dan membahas berbagai persoalan. Ada anak muda yang tampak menonjol, Abdullah ibn Abbas, Salman Al-Farisi yang tekun menyimak dan Abu Dzar Al-Ghifari yang sesekali berapi-api.

Tiba-tiba pembicaraan mereka terhenti, dihadapan mereka muncul dua orang pemuda bersama seorang pria belia yang mereka cekal lengannya. "Wahai Amirul Mukminin," berseru salah satu pemuda. "Tegakkanlah hukum Allah atas pembunuh ayah kami!"

Umar bangkit, "Takutlah kalian kepada Allah! Perkara apa ini?" Hardiknya.

Lalu kedua pemuda menegaskan bahwa pria inilah yang membunuh ayah mereka, mereka siap mendatangkan saksi dan pelaku pun sudah mengakui bahwa ia yang membunuh ayah mereka. "Benarkah yang mereka dakwakan kepadamu ini?"

"Benar wahai Amirul Mukminin!"

"Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu ada sesal," ujar Umar menyelidiki. "Ceritakanlah kejadiannya!"

"Aku datang dari negeri yang jauh," kata belia itu. "Begitu sampai di kota ini, kutambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun keluarga mereka. Kutinggal sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai memakan sebagian tanaman dari kebun mereka. Saat aku kembali," lanjutnya sembari menghela nafas. "Kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah kedua pemuda ini, sedang memukul kepala kudaku dengan batu hingga hewan yang malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu aku terbakar amarah dan kuhunuskan pedang ke lelaki tua itu. Aku khilaf, aku memohon ampun kepada Allah karenanya."

Umar tercenung.

"Wahai Amirul Mukminin," kata salah satu pemuda, "Tegakkanlah hukum Allah! Kami meminta qishash (memberi hukuman yang setimpal, dalam kasus pembunuhan, keluarga korban mempunyai haq untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh) atas orang ini. Jiwa dibayar dengan jiwa."

Umar menatap pria belia dihadapannya, usianya masih muda, pantas saja ia mudah terbakar amarah. Tapi guratan wajahnya teduh menampakkan rasa sesal. Terlihat ia mempunyai akhlak yang santun. Umar iba, alangkah sia-sianya jika pemuda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati. "Bersediakah kalian," Umar berpaling ke arah dua pemuda itu, "Menerima pembayaran diyat  dariku atas nama pemuda ini dan memaafkannya?"

Kedua pemuda itu saling pandang. "Demi Allah, wahai Amirul Mukminin! Sungguh kami mencintai ayahanda kami yang telah membesarkan kami dengan penuh cinta. Keberadaannya tidak dapat digantikan oleh diyat sebesar apapun. Lagipula kami bukanlah orang miskin yang menghajatkan harta."

Umar terhenyak, "Bagaimana menurutmu?" Tanyanya kepada sang terdakwa. "Aku ridha hukum Allah ditegakkan atasku, wahai Amirul Mukminin!" kata lelaki itu dengan tegas dan yakin. "Namun ada yang menghalangiku sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda dan perkara yang harus aku sampaikan kembali pada kaumku. Demikian juga keluargaku. Aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah harus di perjalanan terakhir ini harus aku serahkan kepada mereka sembari berpamitan dan memohon ridho kedua orangtuaku."

Umar kembali terenyuh. Hudud harus ditegakkan, namun pria ini mempunyai amanah yang harus ia selesaikan. "Jadi bagaimana?" Tanya Umar.

"Jika engkau mengizinkanku wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu 3 hari untuk kembali ke daerahku guna menuaikan amanahku. Demi Allah, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itulah tegakkanlah had untukku tanpa ragu wahai putra Al-Khaththab!"

"Adakah orang yang bisa menjaminmu?"

"Aku tak memiliki seorang pun yang kukenal di kota ini hingga aku bisa minta untuk menjadi penjaminku. Aku tak mempunyai seorang pun kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

"Tidak! Demi Allah, tetap harus ada yang menjadi penjaminmu atau aku tak bisa biarkanmu pergi!"

"Aku bersumpah atas nama Allah yang amat keras adzabnya. Aku takkan mengingkari janjiku!"

"Aku percaya. Namun tetap harus ada manusia yang menjaminmu."

"Aku tak punya!"

"Wahai Amirul Mukminin!" Terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa. "Jadikanlah aku sebagai penjamin anak ini dan biarkanlah ia menjalankan amanahnya!" Salman Al-Farisi dengan berani mengajukan diri.

"Engkau? Hai Salman, bersedia menjadi penjamin anak ini?"

"Benar. Aku bersedia!"

"Kalian berdua kakak beradik yang mengajukan gugatan," panggil Umar. "Apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al-Farisi atas lelaki yang telah membunuh ayahmu? Adapun Salman Demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa ia adalah lelaki yang jujur dan tak sudah berkhianat."

Kedua pemuda itu saling tukar pandang. "Kami bersedia."

                                                                           ~~~~

Waktu tiga hari sudah nyaris habis. Umar gelisah tak karuan. Dia mondar-mandir sedangkan Salman duduk khusyu di dekatnya. Salman nampak begitu tenang padahal jiwanya di ujung tanduk. Andai lelaki pembunuh itu tak muncul maka dirinya lah yang menjadi penggantinya.

Waktu terus berlalu dan lelaki itu tak kunjung datang. Kota Madinah mulai berkelabu. Para sahabat datang menemui Salman Al-Farisi. Demi Allah mereka keberatan jika Salman harus pergi sebagai badal. Mereka tak ingin kehilangan sahabat yang pengorbanannya untuk Islam begitu besar. Dia adalah sahabat yang berhati besar, dihormati dan dicintai.

Satu demi satu, para sahabat yang lain mulai mengajukan diri untuk menggantikan posisi Salman, tetapi ia menolak. Umar semakin khawatir. Matahari semakin lengser ke barat. Para sahabat semakin bersedih.

Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan berlari tertatih dan terseok. "Maafkan aku," senyumnya tulus sembari menyeka keringat dari wajahnya. "Urusan kaumku ternyata berbelit dan rumit sementara untaku tak sempat beristirahat, ia kelelahan, nyaris sekarat, terpaksa aku tinggalkan dan aku harus berlari untuk sampai kesini."

Semua yang melihat wajah dan penampilan lelaki ini merasa iba. Semua yang mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba merasa tak rela jika pemuda ini harus berakhir hidupnya.

"Pemuda yang jujur," Umar memecahkan keheningan dengan mata yang berkaca-kaca, "Mengapa engkau kembali padahal kamu mempunyai kesempatan untuk lari dan tak harus mati."

"Sungguh jangan sampai orang mengatakan," kata lelaki itu sambil menunjukkan senyumannya yang tulus, "Tak ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum Muslimin."

"Dan kau Salman," Suara Umar mulai terdengar parau dan bergetar, "Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau bisa mempercayainya?"

"Sunguh jangan sampai orang bicara," ujar Salman dengan wajah teguh, "Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa percaya di antara orang-orang Muslim."

"Allahu Akbar!" Kata Umar, "Segala puji bagi Allah. Kalian telah membesarkan hati ummat ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian. Tetapi.. bagaimanapun, had untukmu harus ditegakkan."

Lelaki itu mengangguk pasrah.

"Kami memutuskan," kata salah satu pemuda penggugat tiba-tiba menyeruak, "Untuk memaafkannya." Mereka tersedu sedan. "Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan tepat janji. Demi Allah, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan memohon ampun kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya. Jangan menghukumnya, wahai Amirul Mukiminin!"

"Alhamdulillah! Alhamdulillah!" Seru Umar. Lelaki terhukum itu sujud syukur. Salman tak ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke arah kiblat mengagungkan asma Allah, yang kemudian bahkan diikuti oleh semua hadirin.

"Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Umar.

"Jangan sampai ada yang mengatakan," jawab mereka masih terharu, "Bahwa di kalangan Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang."

                                                                           ~~~~~~

Aku menitikkan air mata. Hatiku merasa tenang dan tentram mendengar cerita Bumi. Bumi menghela nafas, ia pun terlihat tenang, matanya mulai berbinar. Nak, kumohon satu hal... Ia menangkap mataku, aku menegakkan kembali posisi dudukku, tanah disekitarku mulai terang, mulai tampaklah padang rumput di sekitarku. Jagalah ukhuwah, demi apapun tetaplah berpegang teguh...

In syaa`Allah Bumi....








Sumber : Dalam Dekapan Ukhuwah - Salim A. Fillah

Black Moustache