Setiap orang pasti belajar, akan tetapi, cara kita belajar tidak selalu sama. Seperti tahun ini, tahun yang memberi pelajaran diluar zona nyaman kita. Sebuah anomali.
Awal tahun sudah dihadapkan dengan Indonesia yang bersedih. Hujan tiada henti di beberapa kota membuat hari-hari terasa berat. Terutama Jakarta, yang pada akhirnya dilanda banjir.
Duka tersebut diiringi berita dari negara tetangga, Cina dilanda wabah yang sebelumnya tidak pernah ada di dunia. Jenis corona terbaru, COVID-19, nyawa berguguran dan penyebarannya melebar.
Bukan awal tahun yang menyenangkan. Bahkan itu semua dapat dikatakan sebagai nasib buruk.
Aku yakin, tanpa adanya masalah-masalah tersebut, setiap induvidu sudah memiliki masalah masing-masing dalam hidupnya. Namun, permasalahan itu menjadi semakin rumit dengan berubahnya keadaan, situasi, dan lingkungan yang tidak pernah kita rasakan sebelumnya, seperti banjir di seluruh kota dan pandemi yang entah sampai kapan selesainya.
Tidak terkecuali diriku. Tetapi, masalah-maslah yang aku hadapi ternyata memberi pelajaran yang berharga, tidak ingin menjelaskan panjang lebar, inilah yang aku pelajari:
1. Digoda setan dari arah depan
Manusia digoda setan dari 4 arah, yaitu depan, belakang, kanan, dan kiri. Di awal tahun aku merasakan serangan dari arah depan, yaitu kekhawatiran akan masa depan. Tuntutan dari diri sendiri untuk lulus cepat karena tidak ingin membebani kedua orang tua membayar UKT yang mencapai 2 digit. Selain itu, aku bingung dengan masa depan dan siapa diriku sebenarnya. Semua itu membuatku stres dan kehilangan diri.
Saat itu, aku merasa bahwa aku butuh dukungan dari orang-orang terdekat, namun aku lupa bahwa hidup ini bukan hanya tentang aku.
Hal yang dipelajari:
Tekanan
yang aku hasilkan sendiri, segala pikiran yang sebenarnya belum tentu
benar adanya, perlahan memorakporandakan diri dan orang-orang
disekitarku. Aku jadi buta akan lingkungan dan orang lain karena terlalu
fokus memikirkan diri sendiri. Ya, kasarnya egois, bahkan ke diri
sendiri.
Seharusnya, aku bisa lebih
mengenal diri sendiri dan lebih mengerti arti self love, bukan
semata-mata melakukan yang disukai, akan tetapi melakukan yang dibutuhkan. Self love bukan alasan untuk bisa berlaku seenaknya atau egois.
Aku juga belajar bahwa Tuhan memiliki rencana yang sempurna jika kita mau bersabar, percaya, dan berusaha sekeras mungkin. Pikiran mengenai masa depan terasa jauh lebih ringan mengetahui hal itu. Pikiran lebih jernih dan lebih jelas harus mengambil langkah seperti apa untuk mencapai suatu tujuan.
2. Sabar
Faktanya, manusia memang cenderung terburu-buru seperti dikejar oleh waktu, tetapi, banyak hal dalam hidup kita yang sebenarnya membutuhkan waktu. Salah satunya adalah untuk menjadi pribadi yang utuh.
Aku kurang bersabar dalam mencapai sesuatu, menghadapi orang lain, menghadapi diri sendiri, dan menghadapi keadaan sekitar. Sehingga, perlahan ketidaksabaranku malah membawa malpetaka bagi diri sendiri.
Hal yang dipelajari:
Aku belajar bahwa sabar lebih dari sekedar 'bersabar.' Seluk-beluk kata 'sabar' memiliki arti berkomitmen, ketekunan, menahan diri, dan kesabaran. Bahwa bersabar tidak hanya 'menerima keadaan' tetapi 'mengubah keadaan.'
Sabar bukanlah menunggu, bertahan, dan memendam, tetapi sabar adalah keadaan ketika kita mampu mengendalikan diri untuk tidak bertindak sesuai hawa nafsu dan ego. Sabar juga meliputi keadaan ketika kita mengambil tindakan yang rasional walau memikul beban emosi, sembari mampu untuk mengekspresikan diri. Perasaan itu nyata, tidak ada larangan untuk mengekspresikannya selama tidak merugikan orang lain.
Bagaimana contohnya? Ketika kita sedang bersedih, kita mampu untuk mengendalikan diri agar diri kita tidak terpuruk dan tidak mengasihani diri sendiri. Kita mampu untuk mengekspresikannya melalui tulisan atau lagu, lalu kita jadikan kesedihan itu sumber kekuatan untuk bangkit.
Selain itu, bentuk sabar yang kupelajari juga adalah bahwa semua orang berbeda. Mereka memiliki waktu dan rezekinya masing-masing. Batas maksimal usaha tiap individu juga tidak akan sama, tetapi Tuhan selalu tahu ketika kita mencapai titik maksimal tersebut, sehingga hasil yang diberikan akan memuaskan. Hal ini yang membuat aku lebih tenang, tidak stres, karena percaya akan Tuhan Yang Maha Adil.
Tetapi,
Sabar yang paling sulit adalah sabar ketika kita senang. Keadaan tersebut membuat kita lupa tujuan sebenarnya manusia di dunia ini. Keadaan yang membuat kita tidak bersyukur, sehingga kita memiliki berbagai prasangka dan ambisi toxic kepada sesama. Senang adalah ujian terberat. Itu yang masih aku pelajari dan perjuangkan juga.
3. Manusia akan selalu memiliki pola
Sejak dulu, aku percaya bahwa manusia memiliki pola yang tidak akan bisa dihindari yaitu pola dari kebiasaan buruk maupun baik, pola yang menjadikan seseorang baik atau buruk. Namun, tahun ini, aku mempertanyakan yang kupercayai tersebut, karena sejatinya manusia diberi kekuatan untuk berubah.
Lalu, apakah segala alat ukur yang tercipta untuk memprediksi perilaku manusia bohong? Tahun ini aku mendapatkan jawabannya.
Hal yang dipelajari:
Suatu malam kebetulan aku bertelepon dengan salah satu teman tongkrong. Dia mengambil jurusan statistik sehingga aku bertanya, "apakah benar manusia memiliki pola? Apakah manusia tidak bisa berubah?" Kesimpulan yang kuambil dari percakapan kita malam itu adalah, ya, manusia memiliki pola dan manusia bisa berubah.
Pola sebenarnya tidak baik ataupun buruk. Pola tetaplah kata yang memiliki sifat netral. Akan tetapi, manusialah yang menjadi penentu pola tersebut baik ataupun buruk, karena manusia sebenarnya diberi kemampuan untuk mengendalikan dan mengarahkan pola tersebut.
Seperti bumi, hati manusia memiliki sisi yang berlawanan. Sifat dan pola yang kita miliki hanyalah neraca dari sifat dan pola tersebut. Tugas kita adalah memastikan bahwa timbangan itu bisa selalu seimbang. Misalnya, egois, egois memiliki sisi baik dan buruknya.
Sebagai contoh, seseorang akan egois bila ada orang lain yang peduli dengan dirinya. Ia akan mengingkan orang tersebut untuk selalu memberi padanya, akan tetapi bila ia sadar, ia bisa mengubah kelakuan egoisnya menjadi positif dan bukan negatif.
Caranya adalah dengan mengubah pola pikirnya dari 'aku ingin ia terus peduli denganku' menjadi 'aku ingin menjadi orang yang paling peduli dengannya' bentuk kepuasan dari sifat egoisnya diubah, subjek tetap diri sendiri dan objek tetap orang lain, akan tetapi caranya menjadi berbeda.
Jadi, salah bila kita selalu merasa jadi orang yang paling benar dan baik bila ada orang lain yang menyakiti kita. Kita tidak akan pernah tahu jika orang lain bisa mengendalikan dirinya atau tidak, atau mereka memiliki alasan dan cerita tersendiri. Bila memang tidak ada niat untuk menyakiti, mereka bukan orang yang jahat. Hal terpenting adalah niat.
Jadi, dari situ aku belajar, manusia memang bisa berubah, tetapi mereka tidak benar-benar berubah, mereka hanya memilih menjadi diri mereka yang lebih baik.
4. Self care
Kerap kali kita mendengar kata self care yang diagung-agungkan. Akan tetapi, aku mulai menyadari bahwa kita telah mempergunakan kata self care sebagai selubung keegoisan dan nafsu diri. Kita tidak sadar bentuk self care yang selama ini kita ketahui adalah sumber kerugikan kita.
Hal yang dipelajari:
Bentuk self care yang akhirnya kupahami adalah saat kita tidak memanjakan diri untuk menonton film atau membuang uang untuk menyenangkan diri di hari itu saja. Self care haruslah dirasa jangka panjang, jika self care yang kita lakukan hanya dirasa 1-3 hari maka itu hanya self care yang semu. Tanpa kita sadari, waktu jadi terbuang demi kesenangan yang semu. Damai tidak akan pernah tercapai sama sekali.
Self care adalah ketika kita mampu mencari solusi dari masalah yang kita hadapi. Bila kita merasa burnout, maka self care kita adalah mencari akar permasalahan dari hal tersebut dan mencabutnya, misalnya dengan mencari perspektif baru untuk mencintai dan mensyukuri yang kita miliki.
Pengalaman itu aku rasakan sendiri saat aku sedang terpuruk. Aku merasa bahwa aku harus lebih mencintai diri sendiri, lalu aku mulai melakukan hal-hal disukai. Tetapi, aku semakin menyadari bahwa aku hanya lari dari 'mencintai diri sendiri,' bukan karena 'mencintai diri sendiri' itu sendiri.
Akhirnya, aku mulai memikirkan apa yang kubutuhkan, apa yang bisa dilakukan untuk mengubah pikiranku, aku mulai mengubah kebiasaan-kebiasaan yang tidak ada manfaatnya, aku mencoba untuk mencari akar dari perasaan-perasaan yang aku kira hanya membutuhkan 'self care.' Ternyata, mencari akarnya membuat hidup terasa semakin damai dan tenang. Perasaan yang mengganjal di hati telah hilang.
5. Hidup di masa lalu akan memiliki efek di masa depan
Ketika kita ingin memulai sebuah hidup yang baru. Kita sudah harus berdamai dengan masa lalu, kita harus melepaskan segala pikiran 'seandainya', 'kangen', dan perasaan-perasaan yang tertinggal. Bila kita tidak mampu, akibatnya tidak hanya ke hati dan pikiran sendiri, akan tetapi, ke hati dan pikiran orang lain juga.
Hal yang dipelajari:
Sekalipun kita tidak membicarakan pikiran dan perasaan kita terhadap masa lalu dengan orang lain, mereka akan tetap ada di dalam diri kita. Secara tidak sadar, kita menjadi tidak tulus lagi kepada orang lain. Kita menghalangi diri sendiri dalam melihat orang lain apa adanya dengan hal-hal tersebut. Akhirnya, kita merasa orang lain tidak cocok dengan kita, padahal kita sendiri yang menghalangi diri untuk melangkah.
Terlebih kalau kita membicarakannya ke orang lain, orang lain akan merasa hidup di bayang-bayang masa lalu yang sama sekali tidak ada hubungan dengan merea. Orang tersebut akan merasa sia-sia segala usaha dan perjuangannya, sehingga ia terlalu lelah dan sakit untuk mengikutsertakan kita dalam hidupnya.
Apapun di masa lalu, tetaplah di masa lalu. Bila masa lalu masih terlintas, sedikit apapun, berarti kita belum berdamai dengan diri sendiri dan menerima hal yang sudah terjadi. Kita tidak akan pernah bisa melangkah tanpa menyakiti diri ataupun orang lain.
6. Memaafkan
Seperti sabar, memaafkan sulit dilakukan. Kita juga sudah salah mengartikan 'memaafkan.' Bentuk 'memaafkan' yang kita ketahui adalah mengabaikan yang telah terjadi dan mengabaikan orang yang menyakiti kita, atau kita menerima permintaan maafnya tetapi kita tidak pernah lupa kejadiannya.
Semua itu salah.
Hal yang dipelajari:
Ketika kita tidak teringat dengan hal yang sudah menyakiti kita dan tidak ada perasaan sedikitpun yang muncul bila mengingatnya. Itulah memaafkan. Akan tetapi, manusia tidak diberi kemampuan sebesar itu untuk mencapai tahap tersebut dengan cepat. Kita memerlukan waktu dan kesabaran untuk selalu berdamai dengan diri sendiri sehingga bisa mencapainya.
Ketika kita merasa ketidakadilan dengan masa lalu sudah hilang, kita sudah memaafkan. Ketika kita tulus mendoakan orang yang sudah menyakiti kita dengan berbagai kebaikan, kita sudah memaafkan. Ya, tulus. Saat mencapai titik itu, kita akan merasa ketenangan yang tiada tara, meliputi hati dan pikiran kita. Seperti telah melepaskan beban yang berat.
Memaafkan adalah hal yang kita lakukan untuk diri sendiri bukan untuk orang lain. Dengan memaafkan, kita belajar bahwa kita bisa menjadi orang yang lebih baik demi diri sendiri, dan kita bisa memperoleh kedamaian demi diri sendiri.
7. Aku memiliki teman-teman yang hebat
Tahun ini, aku telah menyadari betapa beruntung dan bersyukurnya memiliki teman-teman yang sangat hebat. Aku tidak menyadari bahwa mereka akan selalu ada untukku bila memang aku memintanya. Kerap kali aku berada dalam kegelapan, saat aku belajar untuk meminta tolong, mereka akan langsung dataang.
Tanpa berfikir dua kali, dengan caranya masing-masing, mereka akan berusaha membantuku, menaikkan moodku, dan menemaniku. Dengan mudahnya mereka akan bilang 'kita teman', 'lu deket sama gua', 'santai saja', dan hal-hal lain yang sebenarnya jarang aku dapatkan.
Selama ini aku terlalu buta untuk menyadari bahwa aku memiliki teman-teman yang hebat. Aku tidak sendiri. Apa yang kumiliki, sudah lebih dari cukup.
Untuk tahun ini, aku tidak akan menukarmu dengan hal lain. Dalam keterpurukkan mental dan fisik, kau telah mengajariku banyak hal mengenai hidup dan diri sendiri. Tahun ini, aku sangat bersyukur, telah tumbuh menjadi sosok yang baru.